Makna Rohani Dari Hukum Allah

“Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Matius 5:17.

Kristuslah yang telah mengumumkan hukum itu di atas Gunung Sinai, di tengah-tengah guntur dan nyala api. Kemuliaan Allah, bagaikan api yang memusnahkan, turun ke puncak gunung, dan gunung itu bergoncang atas kehadiran Tuhan. Rombongan besar orang Israel yang tiarap di atas tanah telah mendengar dengan kagum perintah-perintah suci dari hukum itu. Betapa berbedanya dengan suasana di atas bukit kebahagiaan itu! Di bawah langit musim panas, tanpa suara yang memecah kesunyian kecuali kicauan burung-burung, Yesus menyatakan prinsip-prinsip kerajaan-Nya. Namun Dia yang berbicara kepada orangorang pada hari itu dengan penekananpenekanan kasih telah membuka kepada mereka prinsip-prinsip hukum yang diumumkan di Sinai.

Ketika hukum itu diberikan, Israel, yang direndahkan oleh perhambaan Mesir yang lama, perlu diberi kesan oleh kuasa dan keagungan Allah; namun Dia menyatakan Diri-Nya kepada mereka tidak kurang dari sebagai Allah kasih. “Tuhan datang dari Sinai,

Dan terbit kepada mereka dari Seir;

Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran,

Dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus;

Di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala.

Sungguh Ia mengasihi umat-Nya;

Semua orang-Nya yang kudus,

Di dalam tangan-Mulah mereka,

Pada kaki-Mulah mereka duduk;

Menangkap sesuatu dari firman-Mu.” Ulangan 33:2, 3.

Kepada Musalah Allah menyatakan kemuliaan-Nya dalam kata-kata yang ajaib itu yang telah menjadi harta warisan sepanjang masa: Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa.” Keluaran 34:6, 7.

Hukum yang diberikan di atas Gunung Sinai adalah ucapan dari prinsip kasih, suatu penyataan kepada dunia tentang hukum surga. Hukum itu ditahbiskan di dalam tangan seorang Perantara -diucapkan oleh-Nya lewat kuasa siapa hati manusia dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsipnya. Allah telah menyatakan maksud hukum itu ketika Dia menyatakan kepada Israel, “Haruslah kamu menjadi orang-orang kudus bagi-Ku.” Keluaran 22:31.

Tetapi Israel belum merasakan sifat rohani dari hukum itu, dan terlalu sering penurutan mereka hanya sebagai ketaatan rupa dan upacara saja, bukan suatu penyerahan hati kepada kedaulatan kasih. Ketika Yesus dalam tabiat dan pekerjaan-Nya menunjukkan kepada manusia sifat-sifat Allah yang suci, penuh kebaikan dan bersifat kebapaan, dan menunjukkan ketiadaan nilai dari penurutan upacara belaka, para pemimpin Yahudi tidak menerima atau memahami kata-kata-Nya. Mereka berpikir bahwa Dia terlalu menganggap enteng akan tuntutan-tuntutan hukum itu; dan ketika Dia tetapkan di hadapan mereka kebenaran-kebenaran dari perwujudan atau lambang upacara mereka yang ditetapkan Ilahi, mereka hanya melihat luarnya saja, menuduh Dia berupaya untuk mengubahnya.

Kata-kata Kristus, walaupun diucapkan dengan tenang, itu dikatakan dengan kesungguh-sungguhan dan kuasa yang menggerakkan hati orang-orang. Mereka mendengar pengulangan tradisi-tradisi dan tuntutan-tuntutan hambar dari para rabi; tetapi dengan sia-sia. “Takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” Matius 7:29. Orang Farisi mencatat perbedaan besar antara gaya ajaran mereka dengan ajaran Kristus. Mereka lihat bahwa keagungan, kesucian dan keindahan kebenaran dengan pengaruh yang dalam dan lemah-lembut itu telah menguasai pikiran banyak orang. Kasih dan kelembutan Ilahi Juruselamat itu menarik hati manusia kepada-Nya. Para rabi melihat bahwa oleh pengajaranNya tujuan seluruhnya dari pengajaran yang telah mereka berikan kepada orang-orang tersebut telah gagal. Dia telah meruntuhkan dinding pemisah yang telah menyanjung kesombongan dan kesendirian mereka; dan mereka takut, jika diizinkan, Dia akan menarik orang-orang seluruhnya jauh dari mereka. Oleh sebab itu mereka mengikut Dia dengan permusuhan yang tetap, berharap akan memperoleh suatu kesempatan untuk membuat Dia tidak disukai orang banyak dan dengan demikian memungkinkan orang Sanhedrin menguatkan penghukuman dan kematian-Nya.

Di atas bukit itu, Yesus diamati oleh mata-mata secara teliti; dan ketika Dia paparkan prinsip-prinsip kebenaran, orang Farisi membuat tersebar-luas bahwa ajaran-Nya bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah diberikan Allah di Sinai. Juruselamat itu tidak mengatakan apa-apa untuk menggoncang iman dalam agama dan lembaga-lembaga yang telah diberikan melalui Musa; karena setiap sinar terang Ilahi yang disampaikan pemimpin besar Israel kepada umat-Nya diterima dari Kristus. Sementara banyak orang mengatakan dalam hati mereka bahwa Dia telah datang untuk menghilangkan hukum itu, Yesus dengan bahasa yang jelas menyatakan sikap-Nya terhadap undang-undang Ilahi. ‘’Jangan kamu menyangka,” kata-Nya, “bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi.”

Pencipta manusia dan Pemberi hukum itulah yang menyatakan bahwa maksud-Nya bukanlah untuk mengesampingkan aturan-aturannya. Segala sesuatu dalam alam, dari butir debu dalam sinar matahari hingga ke dunia-dunia di tempat yang tinggi adalah di bawah hukum. Ketenteraman dan keselarasan dunia alami bergantung kepada penurutan akan hukum-hukum ini. Jadi di situ terdapat prinsip-prinsip kebenaran yang besar untuk mengendalikan kehidupan dari segala makhluk yang cerdas, dan kesejahteraan alam semesta bergantung kepada persesuaian dengan prinsip-prinsip ini. Sebelum dunia ini diciptakan, hukum Allah sudah ada. para malaikat diatur oleh prin-sip-prinsipnya, dan supaya dunia selaras dengan surga, manusia juga harus menurut kepada undang-undang Ilahi. Kepada manusia di Taman Eden aturan-aturan dari hukum itu diberitahukan oleh Kristus “pada waktu bintang-bintang fajar bersoraksorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai.” Ayub 38:7. Misi Kristus di dunia bukanlah untuk merusak hukum, tetapi oleh kasih karunia-Nya untuk membawa manusia kembali menurut kepada aturan-aturannya.

Murid yang dikasihi itu, yang mendengar kata-kata Yesus di atas bukit, lama sesudah itu menulis dalam ilham Roh Kudus, menyatakan hukum sebagai kewajiban abadi. Dia katakan bahwa “dosa adalah pelanggaran hukum dan bahwa “setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah.” I Yohanes 3:4. Dia jelaskan bahwa hukum yang ia tunjukkan itu adalah “perintah lama yang telah ada padamu dari mulanya.” 1 Yohanes 2:7. Dia menyatakan hukum yang ada pada waktu penciptaan dan diulangi di atas Gunung Sinai.

Menyatakan hukum itu, Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Di sini Ia menggunakan kata “menggenapi” dalam pengertian yang sama seperti ketika Dia mengatakan maksud-Nya kepada Yohanes Pembaptis untuk “menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Matius 3:15); yakni untuk memenuhi ukuran tuntutan hukum, untuk memberikan suatu contoh dari persesuaian yang sempuma kepada kehendak Allah.

Misi-Nya adalah untuk “memberi pengajaran-Nya yang besar dan mulia.” Yesaya, 42:21. Dia harus menunjukkan sifat rohani dari hukum itu, untuk menunjukkan prinsip-prinsipnya yang luas dan untuk menjelaskan kewajibannya yang abadi.

Keindahan tabiat Ilahi dari Kristus, mengenai siapa yang termulia dan paling lemah-lembut di antara manusia hanya suatu pantulan yang lemah; mengenai siapa Salomo oleh Roh inspirasi menuliskan, Dia adalah “mencolok mata di antara selaksa orang, . . . segala sesuatu padanya menarik” (Kidung Agung 5:10-16); mengenai siapa Daud, melihat-Nya dalam penglihatan nubuat, berkata, “Engkau yang terelok di antara anak-anak manusia” (Mazmur 45:2); Yesus, citra yang jelas dari diri Bapa itu, cahaya dari kemuliaan-Nya; Penebus yang menyangkal diri, sepanjang perjalanan hidup-Nya yang penuh kasih di atas dunia adalah suatu gambaran hidup dari sifat hukum Allah. Di dalam kehidupan-Nya dinyatakan bahwa kasih yang lahir di surga, prinsip-prinsip yang menyerupai Kristus, mendasari hukum-hukum kejujuran yang abadi.

“Selama belum lenyap langit dan bumi ini,” kata Yesus, “satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Dengan penurutan-Nya sendiri kepada hukum Kristus menyaksikan tentang tabiattabiat-Nya yang kekal dan membuktikan bahwa lewat kasih karunia-Nya bukum itu dapat dituruti dengan sempurna oleh setiap putra-putri Adam. Di atas bukit itu Dia menyatakan bahwa tidak satu iota terkecil pun ditiadakan dari hukum itu sebelum semuanya terjadi segala sesuatu yang menyangkut umat manusia, segala yang berhubungan dengan rencana penebusan. Dia tidak mengajarkan bahwa satu waktu hukum itu akan dibatalkan, tetapi mengarahkan mata sepenuhnya kepada horison masa depan manusia dan meyakinkan kita bahwa sebelum tujuan ini tercapai hukum itu akan tetap berwewenang, sehingga tak seorang pun boleh menyangka bahwa misi-Nya ialah untuk menghapus aturan-aturan dari hukum itu. Selagi langit dan bumi ada, prinsip suci hukum Allah akan tetap ada. Kebenaran-Nya adalah, “seperti gunung-gunung Allah” (Mazmur 36:6), akan terus, suatu sumber berkat, mengalirkan sungaisungai kecil untuk menyegarkan bumi.

Karena hukum Tuhan itu sempuma, dan tidak berubah, tidak mungkin bagi orang-orang berdosa, dengan kekuatan sendiri. untuk memenuh i standar tuntutannya. Itulah sebabnya mengapa Yesus datang sebagai Penebus kita. Misi-Nyalah, oleh membuat manusia ikut serta dalam sifat Ilahi, untuk membawa mereka sesuai dengan prinsip-prinsip hukum surga. Apabila kita tinggalkan dosa-dosa kita dan menerima Kristus sebagai Juruselamat kita, hukum itu diagungkan. Rasul Paulus bertanya, “Jika demikian, adalah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.” Roma 3:31.

Janji perjanjian baru itu ialah, “Aku akan menaruh hukumKu di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka” Ibrani 10:16. Sementara sistem lambang nubuatan yang menunjuk kepada Kristus sebagai Anak Domba Allah yang harus menghapus dosa dunia harus dihentikan dengan kematian-Nya, prinsip-prinsip kebenaran yang diwujudkan dalam Sepuluh Hukum adalah tetap bagaikan takhta yang kekal. Tidak satu perintah pun yang telah dibatalkan, tidak satu iota atau satu titik pun yang diubah. Prinsip-prinsip yang diberita-hukan kepada manusia di Firdaus sebagai hukum besar kehidupan akan tetap tidak berubah di Firdaus yang dipulihkan itu. Apabila Eden berbunga kembali di dunia, hukum kasih Allah akan diturut oleh seluruh manusia yang di bawah matahari. “Untuk selama-lamanya, ya Tuhan, firman-Mu tetap teguh di surga.” “Perbuatan tangan-Nya ialah kebenaran dan keadilan, segala titah-Nya teguh, kukuh untuk seterusnya dan selamanya, dilakukan dalam kebenaran dan kejujuran.” “Sejak dulu aku tahu dari peringatan-peringatan-Mu, bahwa Engkau telah menetapkannya untuk selama-lamanya.” Mazmur 119:89; 111:7, 8; 119:152.

“Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam kerajaan surga.” Matius 5:19.

Yakni, dia tidak mendapat tempat dalam surga. Karena orang yang sengaja melanggar satu hukum, dalam roh dan kebenaran, ia tidak menurut yang lainnya. “Sebab barang siapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Yakobus 2:10.

Bukanlah besarnya pendurhakaan yang merupakan dosa, tetapi fakta dari perbedaan kehendak yang dinyatakan Allah dalam keterangan yang paling kecil; karena ini menunjukkan bahwa masih ada komunikasi antara jiwa dan dosa. Hati terbagi dalam pelayanannya. Ada suatu penyangkalan yang sesungguhnya terhadap Allah, suatu pemberontakan terhadap hukum pemerintahan-Nya*

Jika manusia bebas menyimpang dari tuntutan Tuhan dan menetapkan suatu standar tugas untuk mereka sendiri, akan ada standar yang berbeda-beda untuk menyesuaikan pikiran yang berbeda dan pemerintahan akan diambil dari tangan Tuhan. Kehendak manusia akan diutamakan, dan kehendak Allah yang luhur dan suci — maksud kasih-Nya terhadap makhluk-Nya — akan tidak dihormati dan tidak dihargai.

Kapan saja manusia memilih jalan mereka sendiri, mereka menempatkan diri bertentangan dengan Allah. Mereka tidak akan mendapat tempat dalam kerajaan surga, karena mereka berperang dengan prinsip-prinsip surga sendiri. Dengan tidak menghargai kehendak Allah, mereka tengah menempatkan diri di pihak Setan, musuh Allah dan manusia. Bukan oleh satu kata, bukan oleh banyak kata, tetapi oleh setiap kata yang telah diucapkan Allah, manusia akan hidup. Kita tidak dapat mengabaikan satu kata, betapa sepele pun itu tampaknya bagi kita, dan diselamatkan. Tidak ada satu perintah hukum yang bukan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Dalam penurutan kepada hukum Allah, manusia bagaikan dikelilingi sebuah pagar dan mencegahnya dari kejahatan. Dia yang merusak rintangan yang didirikan Ilahi ini dalam satu hal telah merusak kuasanya untuk melindungi dirinya; karena dia telah membuka sebuah jalan yang melaluinya musuh itu dapat masuk untuk membuang dan merusak.

Dengan memberanikan diri mengabaikan kehendak Allah kepada satu hal, orangtua kita yang pertama membuka pintu air kesengsaraan kepada dunia. Dan setiap orang yang mengikut contoh mereka akan memperoleh akibat yang sama. Kasih Allah mendasari setiap peraturan dari hukum-Nya, dan dia yang menyimpang dari hukum itu adalah melakukan ketidakbahagiaan dan kehancurannya sendiri.

“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Fa r is i, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga.” Matius 5:20.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bukan hanya menuduh Kristus tetapi murid-murid-Nya sebagai orang-orang berdosa karena mereka tidak menghargai upacara dan peraturan-peraturan guru-guru Yahudi. Sering murid-murid itu dibingungkan dan disusahkan oleh kecaman dan tuduhan dari mereka yang telah biasa dipuja sebagai guru-guru agama. Yesus menyingkapkan penipuan itu. Dia nyatakan bahwa kebenaran yang begitu besar nilainya dibuat orang-orang Farisi tidak berharga. Orang Yahudi telah mengaku menjadi bangsa yang istimewa, setia dan kesayangan Allah; tetapi Kristus menunjukkan agama mereka sebagai tidak memiliki iman yang menyelamatkan. Semua tuntutan kesucian mereka, penemuan dan upacara buatan mereka, dan bahkan pelaksanaan tuntutan-tuntutan hukum secara lahiriah yang mereka sombongkan, tidak berguna untuk menyucikan mereka. Mereka tidak suci dalam hati atau mulia dan menyerupai Kristus dalam tabiat.

Agama resmi tak mampu membawa jiwa rukun dengan Allah. Kekerasan dan kekakuan ortodoksi orang-orang Farisi, tiadanya perasaan berdosa, kelemahlembutan atau kasih, hanya menjadi satu batu sandungan bagi orang-orang berdosa. Mereka adalah bagaikan garam yang telah menjadi tawar; karena pengaruh mereka tidak berkuasa untuk memelihara dunia dari kecurangan. Satu-satunya iman sejati ialah yang “bekerja oleh kasih” (Galatia 5:6) untuk menyucikan jiwa. Itu bagaikan ragi yang mengubah tabiat.

Semua ini seharusnya sudah dipelajari orang Yahudi dari ajaran-ajaran para nabi. Berabad-abad sebelumnya, seruan jiwa untuk minta pembenaran dari Allah telah menemukan suara dan jawaban dalarrt kata-kata Nabi Mikha: “Dengan apakah aku akan pergi menghadap Tuhan dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi? Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? Berkenankah Tuhan kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? …. Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Aliahmu?” Mikha 6:6-8.

Nabi Hosea telah menjelaskan apa yang merupakan dasar utama dari ajaran prang-orang Farisi, dalam kata-kata, “Israel adalah pohon anggur yang riap tumbuhnya, yang menghasilkan buah.” Hosea 10:1. Dalam pelayanan mereka yang terkenal kepada Allah, orang-orang Yahudi benar-benar bekerja untuk diri. Kebenaran mereka adalah buah dari upaya mereka sendiri untuk memelihara hukum menurut pikiran mereka sendiri dan untuk kepentingan mereka sendiri. Karenanya itu tidak lebih baik daripada mereka. Dalam upaya untuk membuat mereka suci, mereka coba membawa barang yang suci dari yang tidak suci. Hukum Allah itu suci sebagaimana Dia suci, sempuma sebagaimana Dia sempurna. Hukum itu menunjukkan kebenaran Allah kepada manusia. Tidak mungkin bagi manusia memelihara hukum dengan kekuatan sendiri; karena sifat manusia sudah rusak, cacat, dan secara keseluruhan tidak menyukai tabiat Allah. Pekerjaan dari hati yang mementingkan diri adalah “seperti seorang najis” dan “segala kesalehan kami seperti kain kotor.” Yesaya 64:6.

Selama hukum itu suci, orang-orang Yahudi tidak dapat mencapai kebenaran dengan upaya mereka sendiri untuk memelihara hukum. Murid-murid Kristus harus memperoleh kebenaran tabiat yang berbeda-beda dari orang-orang Farisi, jika mereka mau memasuki kerajaan surga. Di dalam Anak-Nya, Allah menawarkan kepada mereka, kebenaran yang sempuma dari hukum itu. Jika mereka mau membuka hati mereka sepenuhnya untuk menerima Kristus, maka hidup Allah sendiri, kasih-Nya, akan tinggal dalam diri mereka, mengubah mereka kepada keserupaan-Nya; dan dengan demikian melalui pemberian cuma-cuma dari Allah, mereka akan memiliki kebenaran yang dituntut hukum itu. Tetapi orang-orang Farisi itu menolak Kristus; “tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri” (Roma 10:3) mereka tidak akan menyerahkan diri mereka kepada kebenaran Allah.

Yesus mulai menunjukkan kepada para pendengar-Nya apa artinya memelihara hukum-hukum Allah — bahwa itu adalah suatu salinan tabiat Kristus di dalam diri mereka. Karena di dalam Dia, Allah dinyatakan tiap hari di hadapan mereka.

“Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum.” Matius 5:22.

Melalui Musa Tuhan telah mengatakan, ‘’Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu …. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Bilangan 19:17,18. Kebenaran yang ditunjukkan Kristus adalah sama dengan yang telah diajarkan oleh para nabi, tetapi kebenaran itu menjadi tak jelas oleh kekerasan hati dan kasih akan dosa.

Kata-kata Juruselamat itu menyatakan fakta kepada para pendengar-Nya bahwa selama mereka mempersalahkan orangorang lain sebagai pelanggar, mereka mempunyai salah yang sama, karena mereka tengah menghargai kedengkian dan kebencian.

Di seberang laut dari tempat di mana mereka berhimpun adalah negeri Bashan, satu daerah sepi yang jurang-jurang dan bukit-bukitnya telah lama menjadi daerah persembunyian kesukaan bagi segala macam penjahat. Laporan-laporan perampokan dan pembunuhan yang dilakukan di situ masih segar dalam pikiran orang-orang, dan banyak orang yang rajin memberitahukan para pelaku kejahatan ini. Pada waktu yang sama mereka sendiri sangat bernafsu dan suka berdebat; mereka memendam kebencian yang paling getir terhadap bangsa Roma yang menindas mereka dan merasa diri mereka bebas untuk membenci dan menghina semua bangsa lain, bahkan bangsa mereka sendiri yang di dalam segala hal yang tidak sesuai dengan pikiran mereka. Dalam semua ini mereka melanggar hukum yang menyatakan, “Jangan membunuh.”

Roh yang membenci dan mendendam berasal dari Setan, dan itulah yang membunuh Anak Allah. Barang siapa menyayangi kedengkian atau ketidakbaikan adalah menyayangi roh yang sama, dan buahnya adalah kematian. Dalam pikiran yang penuh dendam perbuatan-perbuatan jahat terselubung, bagaikan turnbuhan di dalam benih. “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya.” 1 Yohanes 3:15.

’’Barang siapa akan mengatakan kepada sauda-ranya, teman sia-sia, akan berbahaya di dalam majelis.” Di dalam pemberian akan Putra-Nya untuk penebusan kita, Allah telah menunjukkan betapa tinggi nilai yang Dia tetapkan kepada setiap jiwa manusia dan Dia tidak memberikan kepada manusia kebebasan untuk berbicara dengan merendahkan orang lain. Kita akan melihat kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan di dalam diri mereka yang di sekitar kita, tetapi Allah menyatakan setiap jiwa sebagai milik-Nya — milik-Nya oleh penciptaan, dan kedua milik-Nya sebagai yang dibeli oleh darah Kristus yang berharga itu. Semuanya diciptakan dalam gambar-Nya, dan walaupun orang yang paling rendah harus diperlakukan dengan hormat dan lemah-lembut. Allah akan membuat kita bertanggung jawab atas satu kata saja yang kita ucapkan menghina satu orang yang untuknya Kristus mengorbankan hidup-Nya.

“Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri.” 1 Korintus 4:7; Roma 14:4.

“Barang siapa akan berkata, Engkau tolol, akan berada dalam bahaya api neraka.” Dalam perjanjian Lama kata “tolol” digunakan untuk menunjukkan seorang yang murtad, atau orang yang telah menyerahkan dirinya kepada kejahatan. Yesus mengatakan bahwa siapa saja akan menyalahkan saudaranya sebagai orang murtad atau penghina Allah menunjukkan bahwa dia sendiri berada dalam kesalahan yang sama.

Kristus sendiri, ketika bertengkar dengan Setan tentang mayat Musa, “tidak berani menghakimi Iblis itu dengan katakata hujatan.” Yudas 1:9. Sekiranya Dia melakukan hal ini, Dia telah menempatkan diri-Nya di daerah Setan, karena tuduhan adalah senjata si jahat itu. Dalam Kitab Suci ia disebut, pendakwa saudara-saudara kita.” Wahyu 12:10. Yesus tidak akan menggunakan satu pun dari senjata-senjata Setan. Dia menemuinya dengart kata-kata, “Kiranya Tuhan menghardik engkau.” Yudas 1:9.

Teladan-Nya adalah untuk kita. Apabila kita bertentangan dengan musuh-musuh Kristus, kita tidak boleh mengatakan apa-apa dengan roh balas dendam atau menunjukkan sikap menuduh. Dia yang berdiri sebagai seorang juru bicara bagi Allah tidak boleh mengucapkan kata-kata yang Penguasa surga pun tidak akan menggunakannya ketika bertengkar dengan Setan. Pekerjaan menghakimi dan menghukum harus kita serahkan kepada Allah.

“Berdamai dulu dengan saudaramu.” Matius 5:24.

Kasih Allah adalah sesuatu yang lebih daripada penolakan semata-mata; itu adalah suatu prinsip positif dan aktif, suatu mata air hidup, yang senantiasa memberkati orang-orang lain. Jika kasih Kristus tinggal dalam kita, kita bukan hanya tidak boleh memendam kebencian terhadap teman-teman kita, tetapi dalam segala cara kita akan berupaya untuk menyatakan kasih terhadap mereka.

Yesus berkata, “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” Persembahan-persembahan korban menyatakan iman bahwa melalui Kristus orang yang mempersembahkan itu telah menjadi seorang yang ikut ambil bagian dalam kemurahan hati dan kasih Allah. Tetapi orang yang akan menyatakan iman dalam kasih Allah yang mengampuni, sementara ia sendiri memanjakan roh yang tidak mengasihi, akan menjadi sandiwara lelucon semata-mata.

Apabila seseorang yang mengaku melayani Allah bersalah atau menyakiti perasaan seorang saudara, ia salah memperkenalkan tabiat Allah kepada saudara itu, dan kesalahan itu harus diakui, ia harus mengakui itu menjadi dosa, supaya serasi dengan Allah. Saudara kita mungkin telah melakukan kesalahan yang lebih besar kepada kita daripada kesalahan kita kepadanya, tetapi ini tidak mengurangi tanggung jawab kita. Jika pada waktu kita datang ke hadapan Allah lalu mengingat orang lain yang bercekcok dengan kita, kita harus meninggalkan persembahan doa kita, ucapan terima kasih, persembahan sukarela kita dan pergi kepada saudara dengan siapa kita bertengkar, dan dengan kerendahan hati mengakui dosa kita sendiri lalu meminta supaya dimaafkan.

Jika dengan suatu sikap kita telah menipu atau menyakiti hati saudara, kita harus membuat penggantian rugi. Jika kita dengan tidak sadar telah memberikan saksi palsu, jika kita salah mengutarakan kata-katanya, jika kita telah merusak pengaruhnya dengan cara apa pun, kita harus pergi kepada orang-orang dengan siapa kita bercakap-cakap tentang dia, dan menarik kembali pernyataan-pernyataan kita yang salah itu.

Jika masalah-masalah yang sukar di antara saudara-saudara tidak dipaparkan di hadapan orang-orang lain, tetapi terus terang dibicarakan di antara mereka dengan roh kasih Kristen, betapa banyak kejahatan yang dapat dicegah! Betapa banyak akar-akar kebencian yang olehnya banyak orang tercemar akan dibinasakan, dan betapa akrabnya dan lemah-lembutnya para pengikut Kristus disatukan dalam kasih-Nya!

“Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya.” Matius 5:28.

Orang Yahudi menyombongkan diri mereka atas moralitas mereka dan ngeri melihat kebiasaan-kebiasaan orang-orang Kafir yang menuruti hawa nafsu. Kehadiran para perwira Roma yang dibawa pemerintahan kekaisaran ke Palestina adalah suatu serangan yang terus-menerus kepada bangsa itu, karena dengan orang-orang asing ini masuklah kebiasaan-kebiasaan orang Kafir, hawa nafsu dan pemborosan. Di Kapernaum, para perwira Roma dengan perempuan-perempuan simpanan mereka membayangi parade dan perjalanan, dan sering suara sukaria memecah kesunyian danau itu sementara perahu-perahu pelesir mereka meluncur di atas air yang tenang itu. Orang-orang itu berharap untuk mendengar dari Yesus suatu pengaduan keras dari golongan ini, tetapi betapa heran mereka setelah mendengar kata-kata yang menyatakan kejahatan hati mereka sendiri!

Apabila pikiran jahat dikasihi dan dihargai, betapa tersembunyi pun, Yesus mengatakan, itu menunjukkan bahwa dosa masih berkuasa dalam hati. Jiwa masih dalam empedu kepahitan dan dalam ikatan kejahatan. Orang yang mendapat kesenangan dalam membicarakan suasana ketidaksucian, yang memanjakan pikiran jahat, pandangan yang penuh nafsu, dapat melihat dalam dosa yang terbuka, dengan beban malunya dan dukacita yang menyayat hati, sifat yang sebenarnya dari kejahatan yang telah dia sembunyikan di dalam bilik-bilik jiwa. Masa pencobaan, yang olehnya bisa seseorang jatuh ke dalam dosa yang memilukan, tidak menciptakan kejahatan yang dinyatakan, tetapi hanya mengembangkan atau menyatakan yang tersembunyi dan terpendam dalam hati. “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia;” karena dari situlah “terpancar kehidupan.” Amsal 23:7; 4:23.

“Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu.” Matius 5:30.

Untuk mencegah penyakit menjalar ke seluruh tubuh dan membinasakan hidup, orang mau menyerah untuk memisahkan tangan kanannya juga. Lebih daripada itu dia harus mau menyerahkan yang membahayakan kehidupan jiwa.

Melalui Injil, jiwa-jiwa yang direndahkan dan diperbudak Setan harus ditebus untuk memberikan kebebasan mulia putraputra Allah.

Maksud Allah bukan hanya untuk melepaskan dari penderitaan yakni akibat dosa yang tak terelakkan, tetapi untuk menyelamatkan dari dosa itu sendiri. Jiwa, yang dirusak dan cacat, harus disucikan, diubah, supaya dapat diberi pakaian dengan “keindahan dari Tuhan Allah kita,” “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia, semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Mazmur 90:17; Roma 8:29; 1 Korintus 2:9. Kekekalan sendiri dapat menyatakan untung yang mulia ke mana manusia dapat mencapai gambar Allah yang dipulihkan.

Untuk mencapai cita-cita yang tinggi ini hal-hal yang membuai jiwa tersandung harus dikorbankan. Melalui kemauanlah dosa dapat menahan kendalinya atas kita. Penyerahan kematian digambarkan sebagai mencongkel mata atau memotong tangan. Berserah kepada kehendak Allah tampaknya bagi kita sering merupakan izin untuk mengalami kehidupan ini dengan kaki buntung atau timpang. Tetapi Kristus mengatakan, lebih baik diri buntung, luka dan timpang jika dengan demikian engkau bisa masuk ke dalam kehidupan. Sehingga apa yang engkau lihat sebagai bencana adalah pintu kepada keuntungan yang paling tinggi.

Allah adalab mata air kehidupan, dan kita dapat memperoleh kehidupan hanya apabila kita berhubungan dengan Dia. Terpisah dari Allah, untuk sementara waktu kita bisa hidup, tetapi kita tidak memiliki kehidupan. ‘’Tetapi seorang janda yang hidup mewah dan berlebih-lebihan, ia sudah mati selagi hidup.” 1 Timotius 5:6. Hanya melalui penyerahan kehendak kita kepada Allah bagi-Nya mungkin untuk memberikan kehidupan kepada kita. Hanya oleh menerima kehidupan-Nya melalui penyerahan diri, kata Yesus, dosa-dosa tersembunyi, yang telah Aku tunjukkan ini, dapat dikalahkan.

Bisa saja engkau menguburkan dosa-dosa itu dalam hatimu dan menyembunyikannya dari mata manusia, tetapi bagaimana engkau akan berdiri di hadapan Allah?

Jika engkau bergantung kepada diri, tidak mau menyerahkan kehendakmu kepada Allah, engkau sedang memilih kematian. Bagi dosa, di mana pun ditemukan, Allah adalah api yang menghanguskan. Jika engkau memilih dosa, dan tidak mau berpisah dari dosa itu, kehadiran Allah, yang menghanguskan dosa, harus menghanguskan engkau.

Memerlukan suatu pengorbanan untuk memberikan dirimu kepada Allah; tetapi itu adalah suatu pengorbanan yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, yang duniawi kepada yang rohaniah, yang fana kepada yang abadi. Allah tidak merencanakan bahwa kehendak kita harus dimusnahkan, karena hanya melalui penggunaannya kita dapat melakukan apa yang Dia inginkan harus kita lakukan. Kehendak kita harus diserahkan kepada-Nya, supaya kita dapat menerimanya kembali, disucikan, dibersihkan, dan begitu dihubungkan dalam simpati dengan Ilahi sehingga Dia dapat mencurahkan aliran kasih dan kuasa-Nya melalui kita. Bagaimanapun juga penyerahan ini pahit dan menyakitkan kepada hati yang keras dan melawan namun “itu menguntungkan bagimu.”

Barulah setelah Yakub pincang dan tak berdaya di pelukan malaikat perjanjian itu, dia mengetahui kemenangan dari iman yang menaklukkan dan menerima gelar seorang pangeran bersama Allah. Barulah setelah dia “pincang karena pangkal pahanya” (Kejadian 32:31), gerombolan bersenjata Esau terhenti di hadapannya, dan Firaun, yang membanggakan warisan kerajaannya itu, membungkuk untuk menerima berkat darinya. Begitulah Kapten keselamatan kita dijadikan “sempurna melalui penderitaan” (Ibrani 2:10), dan anak-anak yang beriman “beroleh kekuatan dalam kelemahan,” dan “memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing” (Ibrani 11:34). Begitulah “orang-orang lumpuh akan menjarah jarahan” (Yesaya 33:23), dan orang lemah menjadi “seperti Daud,” dan “keluarga Daud. . . seperti malaikat Tuhan” (Zakharia 12:8).

“Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya?” Matius 19:3.

Di antara orang Yahudi seseorang diperbolehkan menceraikan istrinya karena pelanggaran-pelanggaran sepele, dan wanita itu bebas untuk menikah kembali. Kebiasaan ini membawa kepada keadaan yang buruk dan dosa. Dalam Khotbah di Atas Bukit Yesus dengan jelas menyatakan bahwa tidak boleh ada pembubaran dari ikatan pernikahan, kecuali karena tidak setia kepada sumpah pernikahan. “Barang siapa,” kata-Nya, “menceraikan istrinya, kecuali karena zina dan barang siapa yang mengawininya ketika ia diceraikan adalah berbuat zina.”

Ketika orang-orang Farisi kemudian bertanya kepada-Nya mengenai sahnya perceraian, Yesus menunjukkan kepada para pendengar-Nya kembali kepada lembaga pernikahan seperti yang diurapi pada waktu penciptaan. “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu,” kata-Nya, “tetapi sejak semula tidaklah demikian” Matius 19:8. Dia tunjukkan kepada mereka hari-hari Eden yang menyenangkan, ketika Allah mengatakan segala sesuatu “sangat baik”. Pernikahan dan Sabat pada mulanya, lembaga kembar untuk kemuliaan Allah dalam kepentingan umat manusia. Kemudian, ketika Pencipta itu mempersatukan tangan pasangan suci dalam ikatan pernikahan, seraya mengatakan, “Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24), Dia mengucapkan hukum pernikahan itu untuk seluruh anak-anak Adam sampai kepada akhir zaman. Bahwa yang telah diucapkan Bapa Kekal sendiri baik adalah hukum berkat dan perkembangan yang paling tinggi bagi manusia.

Seperti setiap karunia baik lainnya yang diberikan Allah dan dipercayakan kepada pemeliharaan umat manusia, pernikahan telah dicemari oleh dosa; tetapi adalah maksud Injil untuk memulihkan kesucian dan keindahannya. Di dalam kedua Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hubungan pernikahan digunakan untuk menggambarkan kesatuan yang lembut dan suci yang ada di antara Kristus dan umat-Nya, orang-orang yang ditebus, yang telah dibeli dengan harga Golgota. “Janganlah takut,” kata-Nya “sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, Tuhan semesta alam nama-Nya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel.” “Kembalilah hai anak-anak yang murtad, demikian firman Tuhan, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu!” Yesaya 54:4, 5; Yeremia 3:14. Dalam “Nyanyian dari segala Nyanyian” kita mendengar suara pengantin wanita itu mengatakan, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia.” Dan Dia yang baginya adalah “mencolok mata di antara selaksa orang,” berbicara kepada pilihan satu-satunya, “Engkau cantik sekali, manisku, tak ada cacat cela padamu.” Kidung Agung 2:16; 5:10; 4:7.

Pada waktu-waktu berikutnya Rasul Paulus mengirim surat kepada orang-orang Kristen Efesus melaporkan bahwa Tuhan telah mengangkat suami sebagai kepala rumah tangga, menjadi pelindung istri, pengikat rumah tangga, mengikat anggota-anggota keluarga bersama-sama, sama seperti Kristus adalah kepala gereja dan Juruselamat tubuh yang ajaib. Oleh sebab itu ia mengatakan, “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya.” Efesus 5:24-28.

Kasih karunia Kristus saja dapat membuat lembaga pernikahan ini menjadi seperti yang direncanakan Allah suatu alat untuk berkat dan mengangkat umat manusia. Dan dengan demikian keluarga-keluarga di dunia, dalam kesatuan, damai dan kasih mereka, dapat menggambarkan keluarga surga.

Kini, sebagaimana pada zaman Kristus, keadaan masyarakat memberikan suatu komentar yang menyedihkan tentang cita- cita surga dari hubungan suci ini. Namun walaupun bagi mereka yang telah merasakan kepahitan dan kekecewaan di mana mereka telah mengharapkan persahabatan dan sukacita, Injil Kristus memberikan penghiburan. Kesabaran dan kelemahlembutan yang dapat diberikan Roh-Nya akan mempermanis nasib yang pahit. Hati di mana Kristus tinggal akan sangat dipenuhi, sangat dipuaskan, dengan kasih-Nya sehingga itu tidak akan dimakan oleh kerinduan untuk menarik simpati dan perhatian kepada dirinya sendiri. Dan melalui penyerahan jiwa kepada Allah, akal budi-Nya dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh akal budi manusia. Melalui penyataan kasih karunia-Nya, hati yang pernah tidak tertarik atau renggang dapat disatukan dalam ikatan yang lebih kukuh dan lebih abadi daripada ikatanikatan dunia — ikatan-ikatan emas dari suatu kasih yang akan menahan ujian penderitaan.

“Janganlah sekali-kali bersumpah.” Matius 5:34.

Alasan perintah ini diberikan: Kita tidak boleh bersumpah “karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, atau pun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun.”

Segala sesuatu datang dari Allah. Tak satu pun yang ada pada kita yang tidak kita terima; dan lebih daripada ini, kita tak mempunyai apa pun yang tidak dibeli bagi kita oleh darah Kristus. Segala sesuatu yang kita miliki datang kepada kita dengan stempel salib, dibeli dengan darah yang tak dapat diukur harganya, karena itu adalah hidup Allah sendiri. Sebab itu tak ada suatu apa pun yang dapat membuat kita berhak menjanjikannya, seolah-olah itu milik kita, untuk menggenapi kata kita.

Orang-orang Yahudi memahami hukum ketiga yang melarang penggunaan nama Allah dengan sia-sia; tetapi mereka pikir bebas mereka menggunakan sumpah-sumpah lain. Bersumpah biasa bagi mereka. Melalui Musa mereka dilarang bersumpah palsu, tetapi mereka mempunyai banyak muslihat untuk membebaskan mereka dari kewajiban yang dikenakan oleh sumpah. Mereka tidak takut melakukan sumpah-serapah sebenarnya, juga tidak enggan bersumpah palsu selama itu diselubungi dengan suatu trik teknis hukum untuk mengelak.

Yesus menyalahkan kebiasaan-kebiasaan mereka, menyatakan bahwa adat mereka yang mengambil sumpah adalah suatu pelanggaran hukum Allah. Namun, Juruselamat kita tidak melarang penggunaan sumpah pengadilan, di mana Allah dipanggil dengan khidmat untuk menyaksikan bahwa apa yang dikatakan adalah kebenaran, tak lebih hanya kebenaran saja. Yesus sendiri, ketika diperiksa pada pengadilan di hadapan Sanhedrin, tidak menolak untuk memberikan kesaksian dengan sumpah. Imam besar mengatakan kepada-Nya, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak.” Jawab Yesus: “Engkau telah mengatakannya.” Matius 26:63, 64. Sekiranya Kristus dalam Khotbah di Atas Bukit menyalahkan sumpah pengadilan, pada pemeriksaan atas diri-Nya Dia akan memarahi imam besar, dan dengan demikian Dia telah menjalankan ajaran-Nya sendiri demi para pengikut-Nya.

Sangat banyak orang yang tidak takut menipu sesamanya, tetapi kepada mereka telah diajarkan dan telah diingatkan oleh Roh Allah bahwa berdusta kepada Khalik mereka adalah suatu hal yang menakutkan. Apabila disuruh mengambil sumpah mereka dibuat merasa bahwa mereka bersaksi bukan hanya di hadapan manusia, tetapi di hadapan Allah; bahwa jika mereka mengambil sumpah palsu itu adalah kepada Dia yang membaca hati dan yang mengetahui kebenaran yang tepat. Pengetahuan akan pengadilan yang menakutkan yang harus mengikuti dosa ini mempunyai pengaruh yang mengekang pada mereka.

Tetapi jika ada seseorang yang dapat bertahan terus bersaksi dalam sumpah, ia adalah orang Kristen. Dia tetap hidup seperti di hadapan Allah, mengetahui bahwa setiap pemikiran terbuka kepada mata-Nya dengan siapa kita harus lakukan, dan apabila diperlukan berbuat demikian dalam suatu sikap yang sah menurut hukum, ia dibenarkan untuk memohon kepada Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan adalah kebenaran, dan tidak ada kecuali kebenaran.

Selanjutnya Yesus meletakkan suatu prinsip yang membuat pengambilan sumpah tidak perlu lagi. Dia mengajarkan bahwa kebenaran yang tepatlah yang harus menjadi hukum pembicaraan. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.”

Kata-kata ini menyalahkan semua ungkapan dan seruan tak berarti yang menyerempet kepada perkataan yang sia-sia. Ini menyalahkan pujian yang menipu, pengelakan kebenaran, ungkapan-ungkapan yang menyanjung, membesar-besarkan, penyajian yang keliru dalam dagang yang sedang meluas dalam masyarakat dan dunia usaha. Kata-kata ini mengajarkan bahwa tidak seorang pun boleh berupaya tampil menyelubungi ke adaannya sebenarnya, atau yang kata-katanya tidak menyam paikan perasaan hatinya yang sebenarnya, dapat disebut jujur

Jika kata-kata Kristus ini diperhatikan, kata-kata tersebu akan meneliti ucapan dugaan jahat dan kritik yang tidak baik karena dalam memberi komentar kepada tindakan dan moti orang lain, siapa yang dapat dipastikan mengatakan kebenaran Betapa sering kesombongan, nafsu, dendam pribadi, mewarna kesan yang diberikan itu! Suatu pandangan sepintas lalu, sebua kata, bahkan nada suara, bisa berhubungan dengan kepalsuan. Bahkan kenyataan-kenyataan bisa dinyatakan dengan maksud untuk menyampaikan suatu kesan palsu. Dan “apa yang lebih daripada kebenaran, “berasal dari si jahat.”

Segala sesuatu yang di lakukan orang-orang Kristen harus jelas seperti terang matahari. Kebenaran berasal dari Allah; penipuan dalam segala bentuknya yang sangat banyak, berasal dari Setan dan barang siapa dengan cara apa saja menyimpang dari garis kebenaran yang lurus adalah mengkhianati dirinya sendiri kepada kuasa si jahat itu. Namun bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengatakan kebenaran yang tepat. Kita tidak dapat mengatakan kebenaran kecuali kita mengetahui kebenaran; dan betapa sering pendapat-pendapat yang dipertimbangkan sebelumnya, prasangka mental, pengetahuan yang tidak sempuma, kesalahan-kesalahan pertimbangan, mencegah suatu pengertian hal-hal yang benar yang dengannya kita harus lakukan! Kita tidak dapat membicarakan kebenaran kecuali pikiran kita terus-menerus dituntun oleh Dia, kebenaran itu.

Melalui Rasul Paulus, Kristus meminta kepada kita: “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih”. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Kolose 4:6; Efesus 4:29. Dalam keterangan Kitab Suci ini kata-kata Kristus di atas bukit tampaknya adalah untuk menyalahkan percakapan sendagurau, tidak penting dan tak suci. Kitab Suci menuntut agar kata-kata kita bukan hanya harus benar, tetapi suci.

Orang-orang yang telah mengetahui kehendak Kristus “tidak mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan.” Efesus 5:11. Dalam pembicaraan, sebagaimana dalam kehidupan, mereka akan sederhana, berterus-terang, dan benar; karena mereka sedang bersiap-siap untuk persahabatan orang-orang kudus yang di dalam mulut mereka “tidak terdapat dusta.” Wahyu 14:5.

“Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi ka-nanmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Matius 5:39.

Alasan-alasan kejengkelan terhadap orang-orang Yahudi terus-menerus timbul karena hubungan mereka dengan serdadu-serdadu Roma. Detasemen-detasemen pasukan ditempatkan di berbagai tempat di seluruh Yudea dan Galilea, dan kehadiran mereka mengingatkan bangsa itu akan menurunnya martabat mereka sendiri sebagai satu bangsa. Dengan kebencian jiwa mereka mendengar tiupan keras terompet dan melihat pasukan-pasukan serdadu mengelilingi bendera Roma menghormati simbol kuasanya ini. Bentrokan di antara bangsa itu dan para serdadu sering terjadi, dan ini mengobarkan kebencian umum. Sebagaimana pegawai pemerintahan Roma sering cepat-cepat pergi dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tentara-tentara pengawalnya akan menangkap para petani Yahudi yang sedang bekerja di ladang dan memaksa mereka untuk membawa beban mendaki lereng gunung atau memberikan pelayanan lain yang mungkin diperlukan. Ini sesuai dengan hukum dan adat bangsa Roma, dan melawan kepada tuntutan yang demikian hanya menimbulkan celaan dan kekejaman. Kerinduan untuk membebaskan diri dari kuk Roma setiap hari makin mendalam di dalam hati bangsa itu. Terutama di antara orang-orang Galilea yang berani dan kasar roh pemberontakan telah matang. Kapernaum, yang merupakan kota perbatasan, adalah kedudukan garnisun Roma, bahkan sementara Yesus mengajar, pandangan sekelompok tentara mengingatkan para pendengar-Nya kepada rasa benci karena penghinaan Roma terhadap bangsa Israel. Bangsa itu dengan keinginan besar melihat kepada Yesus, berharap bahwa Dialah yang harus merendahkan kesombongan Roma.

Dengan kesedihan Yesus melihat wajah-wajah yang menengadah di hadapan-Nya. Dia perhatikan roh dendam yang telah mendalam dalam hati mereka, dan mengetahui betapa mereka sangat merindukan kuasa bangsa itu untuk meremukkan para penindas mereka. Dengan sangat memilukan dia meminta, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”

Kata-kata ini hanya merupakan pengulangan dari ajaran Perjanjian Lama. Benar bahwa peraturan, “Mata ganti mata, gigi ganti gigi” (Imamat 24:20), adalah suatu ketetapan dalam hukum yang diberikan lewat Musa; tetapi itu adalah suatu undang-undang sipil. Tidak seorang pun dibenarkan dengan membalas dendam, karena Tuhan mengatakan kepada mereka. “Jangan engkau berkata: Aku akan membalas kejahatan.” “Janganlah berkata: Sebagaimana ia memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia.” “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh.” “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air.” Amsal 20:22; 24:29, 17; 25:21,22.

Seluruh kehidupan Yesus di dunia merupakan suatu manifestasi dari prinsip ini. Adalah untuk membawa roti kehidupan kepada musuh-musuh-Nya sehingga Juruselamat kita meninggalkan rumah-Nya di surga. Walaupun fitnah dan penganiayaan tertumpuk di hadapan-Nya sejak dari ayunan sampai ke kubur, namun mereka hanya menerima pernyataan kasih yang mengampuni dari Dia. Melalui Nabi Yesaya Ia berkata, “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut jenggotku.” “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Yesaya 50:6; 53:7. Dari salib Golgota sepanjang zaman datanglah doa-Nya untuk para pembunuh-Nya dan berita pengharapan kepada pencuri yang akan mati itu.

Kehadiran Bapa mengelilingi Kristus, dan tak ada yang menimpa Dia kecuali diizinkan oleh kasih yang tak terbatas itu yang menjadi berkat bagi dunia ini. Inilah sumber penghiburanNya, dan itu ada untuk kita. Orang yang dikaruniai Roh Kristus tinggal di dalam Kristus. Pukulan yang ditujukan kepadanya jatuh kepada Juruselamat, yang mengelilinginya dengan kehadiran-Nya. Apa saja yang datang kepadanya datang dari Kristus. Dia tidak perlu melawan kejahatan, karena Kristuslah pembelanya. Tidak ada yang dapat menjamahnya kecuali seizin Tuhan kita, dan “segala sesuatu” yang diizinkan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” Roma 8:28.

“Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”

Yesus meminta murid-murid-Nya, ganti menolak tuntutan orang-orang yang berkuasa, malah melakukan lebih daripada yang dituntut mereka. Dan, sedapat mungkin, mereka harus melaksanakan setiap kewajiban, malah melebihi tuntutan hukum negeri itu. Hukum, seperti yang diberikan melalui Musa, menyuruh hormat yang sangat lembut kepada orang miskin. Apabila seorang yang miskin memberikan pakaiannya sebagai gadai; atau sebagai jaminan untuk utang, kreditor tidak diizinkan memasuki tempat tinggal untuk memperolehnya; dia harus menunggu gadai itu di jalan supaya dibawa kepadanya. Dan bagaimanapun gadai itu harus dikembalikan kepada pemiliknya pada waktu matahari terbenam. Ulangan 24:10-13. Pada zaman Kristus ketetapan yang menunjukkan belas kasihan ini sedikit dihargai; tetapi Yesus mengajar murid-murid-Nya supaya tunduk kepada keputusan pengadilan, walaupun ini harus menuntut lebih daripada hukum yang disahkan Musa. Walaupun itu harus menuntut sebagian dari pakaian, mereka harus menyerah. Lebih daripada ini, mereka harus memberikan hak kepada kreditor, jika perlu menyerahkan lebih banyak daripada kuasa yang diberikan pengadilan kepadanya untuk menyitanya. “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah jugajubahmu,” kata Yesus. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.

Yesus menambahkan, “Jangan engkau menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin.” Pelajaran yang sama telah diajarkan melalui Musa: “Tetapi engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan.” Ulangan 15:7, 8. Kitab Suci ini menjelaskan arti dari kata-kata Juruselamat itu. Kristus tidak mengajar kita supaya tanpa pandang bulu memberikan amal kepada semua orang yang memintanya; tetapi Dia katakan, “memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya;” dan ini harus menjadi suatu pemberian, bukan suatu pinjaman; karena kita adalah meminjamkan, tidak mengharapkan balasan.” Lukas 6:35.

“Siapa yang menyerahkan dirinya dengan amalnya memberi makan tiga orang, dirinya, sesamanya yang lapar, dan Aku.”

“Kasihilah musuhmu.” Matius 5:44.

Pelajaran Juruselamat, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,” adalah suatu ucapan yang keras bagi orang-orang Yahudi yang suka membalas dendam, dan mereka bersungut-sungut mengenai itu antara mereka. Tetapi Yesus sekarang membuat suatu pernyataan yang masih lebih kuat.

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga.”

Demikianlah suasana hukum yang telah disalahartikan para rabi sebagai suatu tuntutan undang-undang yang dingin dan keras. Mereka anggap diri mereka lebih baik daripada orangorang lain, dan berhak sebagai kesayangan khusus dari Allah oleh karena kelahiran mereka sebagai bangsa Israel; tetapi Yesus menunjuk kepada roh kasih yang mengampuni yang akan memberikan bukti bahwa mereka adalah digerakkan oleh suatu motif yang lebih tinggi daripada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang mereka pandang rendah.

Dia tunjukkan kepada para pendengar-Nya Pemerintah alam semesta, dengan nama yang baru, “Bapa kami.” Dia ingin supaya mereka memahami betapa lemah-lembutnya hati Allah yang merindukan mereka. Dia ajarkan bahwa Allah memelihara setiap jiwa yang sesat: “Seperti bapa sayang kepada anakanaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Mazmur 103:13. Konsepsi yang demikian tidak pernah diberikan oleh suatu agama kecuali oleh Alkitab. Kekafiran mengajarkan kepada manusia supaya melihat Yang Mahatinggi sebagai suatu objek yang harus ditakuti ketimbang untuk dikasihi — dewa pemurka yang perlu ditenteramkan oleh korban-korban, ketimbang Bapa yang mencurahkan karunia kasih kepada anak-anak-Nya. Malah orang Israel telah menjadi sangat buta terhadap ajaran berharga dari para nabi mengenai Allah, sehingga pe-nyataan kasih kebapaan-Nya menjadi suatu pelajaran asli, suatu pemberian baru kepada dunia.

Orang-orang Yahudi menganggap bahwa Allah mengasihi orang-orang yang melayani Dia,—sesuai pandangan mereka, yaitu yang memenuhi tuntutan-tuntutan para rabi, — dan selain itu semua penduduk dunia berada dalam amarah dan kutukNya. Bukan demikian, kata Yesus, seluruh dunia, yang baik dan jahat berada dalam cahaya matahari kasih-Nya. Kebenaran ini harus engkau pelajari dari alam sendiri, karena Allah “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Bukan atas kuasanya sendiri sehingga tahun demi tahun bumi mengeluarkan banyak berkatnya, dan melanjutkan perjalanannya mengelilingi matahari, tapi karena tangan Allah mengendalikan planet-planet dan menjaganya tetap pada posisinya secara teratur dan bergerak menjelajahi cakrawala. Melalui kuasa-Nyalah musim panas dan musim dingin, masa menabur dan masa menuai, siang dan malam silih berganti secara berturut-turut. Oleh firman-Nyalah tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan subur sehingga daun-daun kelihatan dan bungabunga berkembang. Setiap benda yang kita miliki, setiap sinar cahaya matahari dan tetesan hujan, setiap butir makanan, setiap saat dari kehidupan adalah suatu pemberian kasih.

Walaupun kita masih belum penuh kasih dan belum baik dalam tabiat, merasa benci, saling membenci,” Bapa kita yang di surga berkemurahan hati kepada kita. “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya.” Titus 3:3-5. Kasih-Nya yang diterima, akan membuat kita, dalam sikap yang sama, baik dan lemah-lembut, bukan hanya kepada orang-orang yang menyenangkan kita, tetapi kepada orang-orang yang paling bersalah dan berdosa.

Anak-anak Allah adalah orang-orang yang mengambil bagian dalam sifat-Nya. Bukanlah pangkat duniawi, atau kelahiran, atau kebangsaan, atau hak-hak yang berhubungan dengan agama, yang membuktikan bahwa kita adalah anggota-anggota keluarga Allah; itu adalah kasih, kasih yang merangkul semua umat manusia. Walaupun orang-orang berdosa yang hatinya sama sekali tidak tertutup kepada Roh Allah, akan bersaksi kepada kebaikan; sementara mereka bisa membalas kebencian dengan kebencian, mereka juga akan membalas kasih dengan kasih. Tetapi hanya Roh Allah yang membalas kebencian dengan kasih. Menjadi baik kepada orang-orang yang tidak berterima kasih dan orang-orang jahat, berbuat baik tanpa mengharapkan apa-apa kembali, adalah lencana keluarga surga, tanda yang pasti yang olehnya anak-anak dari Yang Mahatinggi menyatakan tingkat hidup mereka yang tinggi.

“Karena itu haruslah kamu sempuma, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.” Matius 5:48.

Kata “karena itu” menyatakan suatu konklusi, suatu kesimpulan dari apa yang telah berlaku sebelumnya. Yesus telah menggambarkan kemurahan hati dan kasih Allah yang tak habis-habisnya kepada para pendengar-Nya, dan meminta karena itu hendaklah mereka menjadi sempuma. Karena Bapamu yang di surga “baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat” (Lukas 6:35), karena Dia telah membungkuk merendahkan diri untuk men- gangkatmu, karena itu, kata Yesus, engkau bisa menjadi seperti Dia di dalam tabiat, dan berdiri tanpa kesalahan di hadapan manusia dan malaikat-malaikat.

Keadaan hidup yang kekal, dalam kasih karunia, adalah seperti keadaan di Eden -kebenaran yang sempuma, rukun dengan Allah, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum-Nya. Standar tabiat yang ditunjukkan dalam Perjanjian Lama sama dengan yang ditunjukkan dalam Perjanjian Baru. Standar ini bukanlah standar yang tidak dapat kita capai. Dalam setiap komando atau perintah yang diberikan Allah terdapat suatu janji, komando yang positif dan mendasar. Allah telah membuat ketentuan bahwa kita bisa menjadi seperti Dia, dan Dia akan melaksanakan hal ini bagi semua orang yang tidak menghalangi kehendak jahat dan dengan demikian menggagalkan kasih karunia-Nya.

Dengan kasih yang tak terceritakan Allah telah mengasihi kita, dan kasih kita bangkit kepada-Nya bila kita memahami tentang panjangnya dan lebarnya dan tingginya kasih yang melampaui pengetahuan ini. Oleh penyataan keindahan Kristus yang menarik, oleh pengetahuan akan kasih-Nya yang dinyatakan kepada kita sewaktu kita masih orang-orang berdosa, hati yang keras luluh dan takluk, dan orang berdosa diubah dan menjadi anak surga. Allah tidak menggunakan ukuran wajib; kasih adalah alat yang Dia gunakan untuk membuang dosa dari hati. Olehnya Dia mengu-bah kesombongan menjadi kerendahan hati, dan permusuhan dan ketidakpercayaan menjadi kasih dan iman.

Orang-orang Yahudi telah bekerja keras untuk mencapai kesempurnaan dengan upaya mereka sendiri, dan mereka telah gagal. Kristus telah mengatakan kepada mereka bahwa kebenaran mereka tidak akan pernah masuk kerajaan surga. Sekarang Dia tunjukkan kepada mereka tabiat kebenaran yang akan dimiliki semua orang yang masuk surga. Di seluruh Khotbah di Atas Bukit Dia melukiskan buah-buahnya, dan kini dengan satu kalimat Dia menunjukkan sumber dan sifatnya; Jadilah sempuma sebagaimana Allah sempuma. Hukum itu adalah suatu catatan dari tabiat Allah. Lihatlah dalam Bapamu yang di surga suatu manifestasi prinsip-prinsip yang sempuma yang merupakan fondasi pemerintahan-Nya.

Allah adalah kasih. Bagaikan sinar-sinar terang dari matahari, kasih, terang dan sukacita mengalir keluar dari Dia kepada seluruh makhluk-Nya, Sifat-Nya adalah memberi. Hidup-Nya sendiri adalah aliran kasih yang tidak mementingkan diri.

“Kemuliaan-Nya adalah kebaikan anak-anak-Nya; Sukacita-Nya, Kebapaan-Nya yang lemah-lembut.”

Dia katakan kepada kita supaya sempuma seperti Dia, dalam sikap yang sama. Kita harus menjadi pusat terang dan berkat kepada lingkungan kita yang kecil, sebagaimana Dia kepada alam semesta. Kita tidak mempunyai apa-apa dalam diri kita sendiri tetapi terang kasih-Nya bersinar kepada kita, dan kita harus memantulkan sinamya. “Dalam kebaikan-Nya yang dipinjam,” kita bisa sempuma dalam lingkungan kita, sebagaimana Allah sempuma dalam lingkungan-Nya.

Yesus mengatakan, Hendaklah kamu sempuma seperti Bapamu adalah sempuma. Jika kamu adalah anak-anak Allah, kamu akan mengambil bagian dalam sifat-Nya, dan kamu tidak bisa kecuali seperti Dia. Setiap anak hidup oleh kehidupan ayahnya. Jika kamu anak-anak Allah, diperanakkan oleh rohNya, kamu akan hidup oleh kehidupan Allah. Di dalam Kristus berdiam “secara jasmaniah seluruh kepenuhan Keallahan” (Kolose 2:9); dan kehidupan Yesus dinyatakan” di dalam tubuh kami yang fana ini” (2 Korintus 4:11). Sehingga kehidupan yang di dalam kamu akan menghasilkan tabjat yang sama dan menyatakan pekerjaan-pekerjaan yang sama seperti yang di dalam Dia. Dengan demikian kamu akan sesuai dengan setiap aturan hukum-Nya; karena “Taurat Tuhan itu sempuma, menyegarkan jiwa.” Mazmur 19:8. Melalui kasih “tuntutan hukum Taurat” akan “digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” Roma 8:4