Para ulama memegang peranan penting di dalam Islam, terutama untuk mengajarkan kebenaran pada kaum Mu’min. tidak semua Mu’min membaca Qur’an, atau setidaknya mereka tidak membacanya didalam Bahasa mereka sendiri atau Bahasa ibu. Sebagian besar melafalkan Qur’an dalam Bahasa Arab (yang berbeda dengan Bahasa resmi mereka) namun tidak memahami apa yang mereka lafalkan. Terdapat dua kalangan ulama; ulama Islam mula-mula (klasik), dan ulama masa kini (kontemporer). Pada bagian ini kita akan menentukan bagaimana pandangan para ulama mula-mula mengenai Kitab-kitab sebelumnya.
Bagaimana pandangan para ulama Muslim mula-mula terhadap Alkitab (Kitab-kitab sebelumnya)?
Orang-orang beriman (kaum Muslim) pada masa Nabi, dan generasi setelahnya, pasti akan mencemooh pemikiran yang menyedihkan dan jahat dari mereka yang melemparkan dugaan bahwa Taurat dan Injil (Alkitab) telah diubah oleh kaum Yahudi dan Kristen. Anggapan semacam itu justru belawanan dengan penegasan dari Qur’an sekaligus pandangan dari para ulama Islam mula-mula sebagaimana akan kita lihat pada penjabaran berikut ini.
- Abdullah Ibn Abbas (618-687)
Salah satu Tafsir (komentar) yang paling awal ditulis oleh Abdullah Ibn Abbas, seorang sepupu Nabi, dan termasuk salah seorang sahabat. Berkomentar tentang masalah pemalsuan Alkitab (Kitab-kitab sebelumnya), Ibn Abbas mengatakan bahwa,
“kata Tahrif (merusak/menyembunyikan) berarti usaha untuk mengubah sesuatu dari kondisi aslinya; dan tidak ada seorang manusia yang sanggup merusak satu kata pun yang datang dari Allah oleh karena itu kaum Yahudi dan orang-orang Kristen hanya bisa merusak dengan cara salah menafsirkan makna dari firman Allah”
Ibn Abbas meyakini bahwa Surah Yunus 64 dimana Allah mengklaim bahwa Kalimat-Nya tidak dapat diubah-ubah dan itu merupakan kemenangan Allah yang besar. Inilah mengapa beliau menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang sanggup merusak satu kata pun yang berasal dari Allah. Beliau meyakini bahwa maknanya yang bisa disalah tafsirkan, dan bukan teks itu sendiri. Di buku yang lain, pernyataan Ibn Abbas tersebut diulang lagi:
“Mereka merusak/menyembunyikan Firman” berarti “mereka mengubah maknanya.” Namun tak seorangpun sanggup mengubah bahkan satu katapun dari Kitab Allah. Maksudnya adalah bahwa mereka salah menafsirkan Firman tersebut.
Ibn Katsir mencatat pernyataan yang sama dari Ibn Abbas:
“Sementara untuk Kitab-kitab Allah, mereka masih tetap terjaga keasliannya dan tidak dapat diubah”
- Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (838-923)
Salah seorang komentator Muslim yang paling terkenal adalah Al-Tabari (atau At-Tabari), dan beliau percaya bahwa kaum Yahudi dan orang-orang Kristen masih memiliki Kitab-kitab yang asli, yang diberikan kepada mereka oleh Allah. Beliau hidup pada abad kesepuluh (sekitar 300 tahun setelah Qur’an diwahyukan). Beliau menulis sebuah pebelaan semiofisial terhadap Islam Ketika berada di Baghdad pada masa pemerintahan Kekhalifahan Abbasid Mutawakkil (847-861 M), namun tak sekalipun beliau menyerang kaum Yahudi dan orang-orang Kristen dengan tuduhan bahwa mereka merusak Kitab-kitab suci mereka.
“…..[Kitab] yang pertama kali hadir, adalah Taurat, yang dipegang oleh Ahli Kitab….Injil yang dipegang oleh orang-orang Kristen, dimana Sebagian besar isinya adalah sejaran tentang Kristus, kelahiran dan kehidupan beliau.”
- Imam Fakhr al-Din Razi (1049-1209)
Beliau percaya karena Alkitab (Taurat dan Injil) adalah juga merupakan Firman Allah yang diwahyukan, oleh karena itu tidak bisa diubah-ubah. Disamping meneguhkan dengan tegas bahwa teks Alkitabiah tidak pernah diubah, beliau juga mengatakan bahwa narasi Qur’an tentang peristiwa-peristiwa Alktiabiah itu berada dalam keharmonisan yang sempurna dengan Alkitab. Beliau berkata;
“Tidak ada pernyataan yang menujukkan bahwa mereka menghapuskan kata tertentu (tilka al-lafzah) dari Kitab”
Beliau menegaskan bahwa “kaum Yahudi menggunakan tipu muslihat dalam tata Bahasa untuk mengubah kata-kata Nabi, namun tidak mengajukan degaan bahwa Alkitab sudah diubah. Sebagai seorang ulama yang ternama dan memiliki reputasi baik sebagai ahli tafsir dalam Islam membuat pernyataan yang begitu tegas harunya layak mendapatkan perhatian. Bagaimana bisa ulama modern manapun, yang telah terpisah jauh dari kurun masa awal Islam, menuduh dan menerima pendapat-pendapat yang begitu bertentangan dengan para ulama-ualama Islam mula-mula?
- Ibn Taymiyya (1263-1328)
Kepada kaum muslim yang mengajukan dugaan bahwa kebanyakan yang terdapat di dalam Taurat dan Injil itu salah (batil), bukan Firman Allah, Ibn Taymiyya mengemukakan argumentasinya,
‘tak seorangpun telah mengubah teks dari Kitab-kitab suci. Sebetulnya mereka (kaum Yahudi dan orang-orang Kristen) telah memalsukan maknanya melalui penafsiran (yang salah).’
Jadi bahkan pada abad keempatbelas Sebagian ulama yang terkenal meyakini bahwa taka da orang yang telah mengubah teks ayat apapun dari Alkitab. Sebaliknya kaum Yahudi dan orang-orang Kristen yang telah memalsukan makna dari ayat Kitab suci. Ini merupakan sebuah pendapat yang berbasis keilmuan yang dikemukakan tujuh ratus tahun setelah masa Nabi Muhammad saw. Bertahun-tahun setelah Nabi, Ibn Taymiyyah bisa dianggap sedang membuat satu pernyataan yang akan mendiskreditkan segala karya untuk selama-lamanya, jika pernyataan tersebut tidak sahih. Maksudnya karena hingga hari ini beliau masih dipandang sebagai salah seorang ulama terbesar dalam Islam.
Apa yang menjadi pandangan ulama-ulama besar lainnya sepanjang sejarah Islam mengenai Alkitab?
Banyak guru-guru besar Islam yang tidak percaya bahwa Alkitab telah dipalsukan dan menerima keaslian Taurat dan Injil antara lain disebutkan dibawah ini:
- Amr al-Ghakhiz (869) menerima keabsahan Taurat dan Injil
- Sahih al-Bukhari (810-870) menerima keabsahan Taurat dan Injil (beliau mengumpulkan hadits-hadits paling awal dalam Islam dan mengutip Qur’an untuk mendukung keyakinannya terhadap teks Alkitab – Surah 3:72,78)
- Al-Mas’udi (956) menerima keabsahan Taurat dan Injil
- Abu Ali Husain bin Sina (1037) menerima keabsahan Taurat dan Injil
- Al-Ghazzali (1111) menerima keabsahan Taurat dan Injil
- Ibn-Khaldun (1406) menerima keabsahan Taurat dan Injil
- Sir Sayyid Ahmad Khan, pendiri Kampus Aligarh, mengatakan hal berikut; “menurut pendapat kami, para pengikut Muhammad, tidak berbukti bahwa pemalsuan (tahrif-i-lafz)…pernah dilakukan.”
- Fakhruddin Razi, mengenai otoritas Ibn Abbas, keponakan nabi Muhammad (saw) berkata “Kaum Yahudi dan Kristen mula-mula dicurigai menyelewengkan teks dari Taurat dan Injil; namun menurut pendapat para doctor dan teolog yang terkemuka hal itu, pemalsuan teks tak mungkin dilakukan, karena Kitab-kitab tersebut sudah dikenal secara umum dan beredar luas kemana-mana, diturunkan dari generasi ke generasi.”
Bagaimana pandangan dari penulis biografi Muhammad yang mula-mula?
Salah seorang penulis biografi mula-mula, yang pada kenyataannya, merupakan penulis biografi paling otentik, yaitu Ibn Ishaq, menyatakan hal berikut mengenai Injil:
“Diantara hal-hal yang sampai padaku, mengenai apa yang Yesus putra Maryam nyatakan di dalam Injil, yang dia terima dari Allah bagi para pengikut Injil, dalam menggunakan sebuah istilah untuk menggambarkan mengenai rasul Allah, adalah soal mengikuti. Itu dikutip dari apa yang Rasul Yohanes letakkan bagi mereka Ketika dia menulis Injil untuk mereka dari Perjanjian Yesus putra Maryam”.
Kesimpulan terhadap pernyataan-pernyataan para ulama tersebut, oleh seorang ulama Islam modern.
Persis seperti ulama-ulama besar di masa lalu, seorang ulama Muslim pada masa ini, Saeed Abdullah, dalam tinjauannya terhadap para kometator Islam, menyimpulkan dalam makalahnya, The Charge of Distortion of Jewish and Christian Scripture (tuduhan pemalsuan Kita-kitab suci Yahudi dan Kristen), bahwa:
“Kitab-kitab suci Yahudi dan orang-orang Kristen yang diakui dan ada sekarang ini adalah sama dengan yang dulu ada pada masa Nabi, sulit untuk mempertahankan argumentasi bahwa semua referensi Qur’an mengenai Taurat dan Injil hanya kepada Taurat dan Injil yang “murni” seperti yang ada masing-masing pada zaman Musa dan Isa Al-Masih as. Jika teks-teks tersebut kurang lebih tetap sama dengan yang ada pada abad ketujuh masehi, maka penghormatan yang ditujukan oleh Qur’an kepada mereka pada masa itu seharunya tetap dipertahankan bahkan sampai hari ini. Banyak penafsir Qur’an, dari Tabari hingga Razi sampai pada Ibn Taymiyya dan bahkan Qutb, cederung berbagi pandangan yang sama mengenai hal ini. Sikap penolakan secara besar-besaran yang dilakukan oleh kebanyakan kaum Muslim di era modern ini terhadap Kitab-kitab suci Yudaisem dan Kekristenan tampaknya tidak memiliki dukungan baik dari Qur’an maupun sosok-sosok ahli tafsir ternama.”
Para ulama yang paling terkemuka dalam sejarah Islam mendukung pandangan bahwa Alkitab tidak diubah-ubah, sementara ulama-ulama pada masa ini mengambil posisi yang sepenuhnya berbeda dengan mengabaikan pendapat dari ulama-ulama pada masa permulaan Islam. Saeed Abdullah, dalam makalahnya, mengambil kesimpulan yang tidak memihak berdasarkan kajiannya mengenai ulama-ulama Islam di sepanjang sejarah Islam. Kesimpulannya tegas, bahwa ulama-ulama tersebut tidak menuduh bahwa Alkitab sudah dipalsukan.
Hasil dari kesaksian-kesaksian positif terhadap kitab-kitab sebelumnya dalam Qur’an adalah bahwa kaum Muslim mula-mula tidak mempertanyakan keaslian/otentisitas dari teks Alkitab. Perbedaan yang mucul antara mereka dan orang-orang Yahudi dan Kristen berasal dari pemutarbalikan makna ayat-ayat tersebut oleh orang-orang yang datang kemudian namun tidak pernah terhadap teks itu sendiri. Hal ini dikenal sebagai tarif ma’nawi, sebuah ‘pengrusakan terhadap makna’ dari kata-kata tersebut. Baru belakangan doktrin tahrif lafzi ‘pengrusakan terhadap teks’ dikembangkan. Bagaimanapun juga, pada masa-masa awal orang-orang Yahudi dan Kristen hanya dianggap bersalah karena keliru dalam menyajikan makna dari Kitab-kitab mereka.
Mengapa dan sejak kapan ulama-ulama Islam berpindah kepada tuduhan bahwa Alkitab dipalsukan?
Pada empat abad pertama (600-1000M) setelah Nabi Muhammd (saw) tidak ada teolog Muslim yang serius mempertanyakan bahwa teks-teks Injil sudah tidak asli. Mereka meungkin menuduh orang-orang Kristen memberikan penafsiran yang salah terhadap firman-firman tersebut namun mereka tidak berselisih mengenai firman itu sendiri. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh kajian mengenai apologetic Muslim, baru dengan Ibn-Khazem wafat di Kordoba tahun 1064, tduhan pemalsuan itu muncul.
Ibn-Khazem berkuasa atas bagian selatan Spanyol untuk beberapa waktu sebagai Menteri dari Khalifah, melancarkan banyak perang saudara demi kepentingannya. Dia juga mengambil bagian dalam diskusi-diskusi teologis. Keilmuannya yang berasal dari apa yang dikenal sebagai sekolah Zahir, dia sangat keras menentang paham Syi’ah. Baik dalam agama maupun politik dia adalah seorang petarung yang kejam dan berpendirian keras. Siapa saja yang berani melawannya akan menyakiti diri sendiri seperti berlari menghantam batu karang. Pena-nya sanggup menghancurkan sama seperti senjata layaknya pedang di tangan seorang prajurit. Oleh karena kefanatikannya dia gagal menarik murid-murid atau mendirikan sekolah. Namun tulisan-tulisannya sangat berpengaruh pada masa-masa selnajutnya.
Dalam pembelaannya terhadap Islam melawan Kristen, Ibn-Khazem mengajukan pertentangan-pertentangan antara Qur’an dan Injil. ‘Karena Qur’an tidak mungkin salah,’ bantah Ibn Khazem, ‘itu berarti teks-teks injil yang bertentanganlah yang salah. Oleh karena itu, teks yang ada saat sekarang pasti sudah dipalsukan oleh orang-orang Kristen.’ Argumentasinya tidak didasarkan pada fakta-fakta sejarah, tapi murni hasil pemikirannya sendiri dan kerinduannya untuk melindungi kebenaran Qur’an.
Setelah dia mengambil jalan ini, tak ada yang sanggup menghentikannya dari terus mengejar tuduhan tersebut. Bahkan sepertinya ini adalah cara yang paling mudah untuk menyerang lawan-lawannya. Dia berkata, ‘Jika kita dapat membuktikan kesalahan dari Kitab-kitab mereka, mereka akan kehilangan bantahan-bantahan yang mereka ambil darinya. Ini akhirnya membawa dia untuk membuat pernyataan ‘orang-orang Kristen telah kehilangan Injil yang diwahyukan kecuali Sebagian kecil jejak-jejak yang Allah biarkan tetap utuh yang dapat digunakan sebagai bantahan terhadap mereka.
Beberapa penulis mengambil proses penalaran yang sama dan semakin memperluasnya. Demikian semakin banyak ulama yang menyatakan tentang pemalsuan Alkitab. Sejak saat itu, ia kerap menjadi bumbu yang pasti digunakan dalam apologetika Muslim.