Apa yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad (saw) mengenai Alkitab (Kitab-kitab sebelumnya)?

Apa yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad (saw) mengenai Alkitab (Kitab-kitab sebelumnya)?

Pada seluruh ayat diatas kita telah mengungkapkan apa yang Qur’an katakana kepada kaum Mu’min mengenai Kitab-kitab sebelumnya. Ia menuduh Ahli Kitab tidak mentaati Kitab-kitab mereka, yang sebenarnya Qur’an teguhkan keabsahannya dan mesti diikuti bahkan oleh kaum Muslim. Sekarang kita ingin mengungkap perintah seperti apa yang Allah berikan kepada Nabi mengenai Kitab-kitab sebelumnya (Alkitab) mengingat bahwa Qur’an telah diwahyukan kepadanya. Mendiskusikan apakah kaum harus mengikuti Alkitab atau tidak merupakan satu sisi dari perdebatan namun melihat apa perintah yang Allah berikan kepada Nabi yang kepadanya diberikan Qur’an menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana Allah memandang keabsaan Ktiab-kitab sebelumnya. Bahwa sekarang Qur’an telah diwahyukan kepada Sang Nabi, seseorang akan menganggap bahwa semua wahyu Allah sudah tercakup di dalamnya sebagai perintah yang utuh. Namun ayat berikut ini justru memperlihatkan apa yang perlu Nabi lakukan Ketika berada dalam keragu-raguan tentang Qur’an yang diwahyukan kepada beliau;

فَإِن كُنتَ فِى شَكٍّ مِّمَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ فَسْـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقْرَءُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَآءَكَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ

Fa ing kunta fī syakkim mimmā anzalnā ilaika fas`alillażīna yaqra`ụnal-kitāba ming qablik, laqad jā`akal-ḥaqqu mir rabbika fa lā takụnanna minal-mumtarīn

Artinya: Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Yunus 94)

Ayat ini secara khusus ditujukan kepada Nabi sendiri meskipun terjemahan Yusuf Ali dalam Bahasa Inggris tidak menjelaskan apakah kata “kamu” itu dalam bentuk tunggal atau jamak, juga tidak jelas apakah “kamu” mengacu kepada laki-laki atau perempuan. Terjemahan Shaih International memperjelas hal ini berdasarkan terjemahan kata Bahasa Arab yang mengacu pada “kamu” yang mengacu pada laki-laki/tunggal, dengan demikian jelas mengacu pada Nabi Muhammad (saw).

Oleh karena itu, meskipun Nabi telah menerima wahyu terakhir, beliau tetap diminta untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang membaca Alkitab (Kitab-kitab sebelumnya) Ketika beliau berada dalam keragu-raguan mengenai wahyu Qur’an. Kalau begitu, jika Nabi saja diperintahkan oleh Allah untuk bertanya kepada mereka yang membaca Alkitab atau “orang yang telah membaca Alkitab sebelum kamu”, maka sudah pasti bukanlah suatu perbuatan yang salah bagi kaum Mu’min untuk membaca atau mencari keterangan dari Alkitab maupun Ahli Kitab.

Dari penjabaran ini semkain jelas bahwa Qur’an sedang memberitahukan para pembacanya bahwa hendaknya mereka membaca Alkitab dan bertanya kepada orang-orang yang pernah membacanya jika mereka memiliki pertanyaa. Ini dikarenakan kisah-kisah yang hanya diceritakan secara ringkas di dalam Qur’an telah dijelaskan dengan amat rinci di dalam Alkitab. Jika sebagai orang-orang beriman, rukun iman telah mendorong kita untuk mengatakan bahwa ‘kami beriman kepada keempat Kitab Suci’ maka, seluruh empat Kitab tersebut dapat dan harus dibaca agar mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih lengkap akan wahyu Allah.

Lebih jauh lagi, fakta bahwa Qur’an menggugah Nabi untuk pergi dan bertanya pada kaum Yahudi dan Kristen merupakan satu argumentasi yang kuat terhadap tuduhan pemalsuan Alkitab. Lagi pula, untuk apa Allah di dalam Qur’an menyuruh Nabi untuk mencari keterangan dengan Ahli Kitab jika mereka dianggap tidak cukup jujur sampai berani memalsukan Alkitab Suci? Sebagian lagi mengklaim bahwa konteks dari ayat ini adalah sedang berurusan dengan situasi sejarah tertentu yang juga diketahui oleh Ahli Kitab karena kejadian-kejadian ini juga tercatat di dalam Kitab-kitab mereka. Dalam terang ini, Qur’an sedang menyuruh orang-orang kafir untuk membuktikan peristiwa sejarah yang tertulis dalam Qur’an dengan catatan yang dimiliki oleh Ahli Kitab. Lagi, masalahnya jauh dari tuntas. Satu-satunya cara untuk Ahli Kitab dipanggil sebagai saksi atas Wahyu yang tidak dipalsukan di tangan mereka! Jika tidak, menjadi sama sekali tidak masuk akal untuk meminta pertimbangan dari dokumen-dokumen yang sudah dirusak, karena dokumen seperti  itu sepenuhnya tidak bisa lagi dipercaya. Fakta bahwa Qur’an meminta pertimbangan dari Alkitab yang Suci di masa beliau sepenuhnya masih bisa dipercaya. Inilah mengapa beliau dengan yakin mengatakan pada kaum Mu’min untuk percaya pada keempat Kitab Suci, tidak hanya Qur’an.

Qur’an lebih jauh memerintah Nabi sebagai berikut:

فَلِذَٰلِكَ فَٱدْعُ ۖ وَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ ۖ وَقُلْ ءَامَنتُ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِن كِتَٰبٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ ٱلْمَصِيرُ

Fa liżālika fad’, wastaqim kamā umirt, wa lā tattabi’ ahwā`ahum, wa qul āmantu bimā anzalallāhu ming kitāb, wa umirtu li`a’dila bainakum, allāhu rabbunā wa rabbukum, lanā a’mālunā wa lakum a’mālukum, lā ḥujjata bainanā wa bainakum, allāhu yajma’u bainanā, wa ilaihil-maṣīr

Artinya: Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)”. (Asy Syura 15)

Disini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Nabi Muhammad (saw) untuk membongkar teks Alkitabiah yang sudah rusak. Sebaliknya, beliau mengakui keyakinannya pada Kitab-kitab sebelumnya. Pada ayat berikut, mengacu pada Bani Israil, ia menyebutkan:

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقْتَدِهْ ۗ قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَٰلَمِينَ

Ulā`ikallażīna hadallāhu fa bihudāhumuqtadih, qul lā as`alukum ‘alaihi ajrā, in huwa illā żikrā lil-‘ālamīn

Artinya: Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)”. Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (Al-An’aam 90)

Nabi Muhammad (saw) disuruh untuk mengikuti petunjuk yang diberikan kepada Bani Israil karena mereka adalah satu bangsa yang kepadanya dipercaya sekaligus juga percaya pada wahyu yang diberikan oleh Allah. Tapi, mengapa Nabi Muhammad (saw) mau mengikuti petunjuk yang diberikan pada kaum Yahudi jika pada kenyataannya mereka cukup jahat untuk merusak teks Alkitab? Jika mereka telah memalsukan Alkitab yang Suci maka bagaimana caranya kaum Yahudi dapat mengetahui petunjuk Allah?

Lagi di ayat berikut Nabi Muhammad (saw) diperintahkan untuk bertanya pada mereka yang kepadanya diwahyukan risalah:

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۖ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Wa mā arsalnā qablaka illā rijālan nụḥī ilaihim fas`alū ahlaż-żikri ing kuntum lā ta’lamụn

Artinya: Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Al-Anbiya 7)

Allah meneguhkan di ayat ini bahwa Dialah yang menurunkan risalah yang datang sebelum Qur’an dan bahkan Nabi Muhammad (saw) boleh bertanya kepada mereka jika ada hal yang beliau tidak pahami. Fakta bahwa Allah memerintahkan Nabi untuk bertanya pada mereka menyiratkan bahwa Kitab-kitab mereka masih berlaku, asli, dan tidak rusak.

Lagi, tidak ada keraguan bahwa Nabi dan kaumnya dapat mencari keterangan pada orang-orang yang memiliki risalah sebelumnya. Bahkan setelah Qur’an datang, Allah memerintahkan bahwa Kitab-kitab sebelumnya masih berlaku dan dapat dipercaya, dan para pengikut Qur’an tidak khawatir mencari keterangan dari Kitab-kitab sebelumnya. Perhatikan juga ayat berikut:

وَإِنَّهُۥ لَذِكْرٌ لَّكَ وَلِقَوْمِكَ ۖ وَسَوْفَ تُسْـَٔلُونَ

Wa innahụ lażikrul laka wa liqaumik, wa saufa tus`alụn

Artinya: Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab. (Az-Zukhruf 44)

وَسْـَٔلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلْنَا مِن دُونِ ٱلرَّحْمَٰنِ ءَالِهَةً يُعْبَدُونَ

Was`al man arsalnā ming qablika mir rusulinā a ja’alnā min dụnir-raḥmāni ālihatay yu’badụn

Artinya: Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?” (Az-Zukhruf 45)

Menurut Baidawi, Jelaleddin, dan Yusuf Ali, “tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami telah yang Kami utus sebelum kamu” berarti bertanya kepada orang-orang yang terpelajar dalam hal tulisan-tulisan dan doktrin-doktrin. Oleh sebab itu tulisan-tulisan dan doktrin-doktrin tersebut jelas tersedia pada masa Nabi Muhammad (saw) dan oleh karena itu tidak ada yang dirusak ataupun hilang naskah aslinya.

Lagi di ayat berikut kita perhatikan bahwa Nabi diperintahkan oleh Allah untuk bertanya kepada Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Kristen) jika beliau memiliki pertanyaan-pertanyaan mengenai satu hal.

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim fas`alū ahlaż-żikri ing kuntum lā ta’lamụn

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (An-Nahl 43)

Tidaklah mungki bagi Allah untuk menyuruh Nabi pada abad ketujuh untuk pergi dan bertanya pada Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Kristen) jika mereka telah berlaku curang dengan memalsukan Kitab-kitab mereka atau kehilangan risalah yang asli. Lagi, dari ayat diatas tampak jelas bahwa jika Nabi boleh datang kepada mereka untuk bertanya, itu berarti mereka telah berlaku jujur selama lebih dari dua ribu tahun. Jika mereka tetap setia memelihara kebenaran, tak pernah rusak dan tak pernah diubah sampai abad ke tujuh, lantas siapa yang mengatakan dan bukti documenter seperti apa yang dimiliki untuk menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Kristen tiba-tiba setelah abad ke tujuh memutuskan untuk mulai memalsukan Kitab-kitab mereka? Tugas semacam itu tampak mustahil mengingat bahwa sekarang Alkitab tidak hanya berada di tangan orang-orang Yahudi dan Kristen namun juga ada ditangan kaum Muslim. Pemalsuan  seperti itu pasti dianggap mustahil. Di ayat sebelumnya, tidak hanya Nabi tapi bahkan kaum Mu’min diperintahkan untuk pergi dan bertanya pada Ahli Kitab. Pastinya Allah tidak keliru dalam memberikan perintah tersebut. Perhatikan satu ayat lagi di dalam Qur’an mengenai topi ini:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَىٰ تِسْعَ ءَايَٰتٍۭ بَيِّنَٰتٍ ۖ فَسْـَٔلْ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ إِذْ جَآءَهُمْ فَقَالَ لَهُۥ فِرْعَوْنُ إِنِّى لَأَظُنُّكَ يَٰمُوسَىٰ مَسْحُورًا

Wa laqad ātainā mụsā tis’a āyātim bayyinātin fas`al banī isrā`īla iż jā`ahum fa qāla lahụ fir’aunu innī la`aẓunnuka yā mụsā mas-ḥụrā

Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata, maka tanyakanlah kepada Bani Israil, tatkala Musa datang kepada mereka lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir”. (Al Isra 101)

Allah dengan sangat yakin memerintahkan Nabi untu pergi dan bertanya pada kaum  Yahudi dan Kristen. Karena mereka telah memelihara kebenaran tetap terjag dengan baik selama lebih dari 2100 tahund ari masa Nabi Musa (as), maka tentu saja mereka juga dapat dipercaya saat sekarang dimana Nabi Muhammad (saw) sedang diperintahkan untuk pergi dan bertanya. Perhatikan pada ayat berikut bagaimana Allah menganggap kaum Yahudi (yang membaca kitab-kitab Yahudi), Kristen (yang membaca kitab-kitab mereka), dan Muslim sebagai orang-orang beriman. Ayat ini tidak menempatkan Yahudi dan Kristen sebagai orang-orang kafir.